Minggu, 01 Januari 2023

Mbah

  

    Semalam, aku mengadakan acara memanggang daging untuk merayakan malam tahun baru. Kami sudah mempersiapkannya sedari tadi sore dan siap untuk menyantapnya malam nanti. Aku membeli dua jenis daging, yaitu daging Slice Beef dan Saikoro. Saikoro merupakan daging yang berbentuk seperti dadu. Jadi, jika kalian sedang bermain boardgame tetapi kehilangan dadu, cobalah kalian minta ke salah satu dari teman kalian untuk pergi ke toko daging dan membeli Saikoro sebagai pengganti dadu kalian yang hilang. Selain daging, kami juga menyiapkan beberapa cemilan seperti sosis, dan aneka macam dimsum. Ditambah Papa juga sudah memasak nasi.    

    Aku bercanda. Haha. Tentu saja aku tidak memanggang daging seorang diri. Aku ditemani oleh Papa, lalu juga ada Tante, adik dari Mama, dan sepupuku. Mama dan kedua adikku tidak menyukai daging panggang sehingga kami berempat yang memanggang daging. Kami sangat menikmati santapan kami malam itu. Karena memanggang daging, aku jadi teringat dengan Mbah (Kakek dari Mama) yang telah meninggalkan kami dua tahun yang lalu. Aku sangat ingat ketika Mbah masih hidup. Kami merayakan tahun baru dengan berkumpul di rumah Mbah dan mengadakan bakar-bakar. Saat itu kami belum mengerti dan aku belum mengenal dengan yang namanya restoran All You Can Eat sehingga kami saat itu memanggang jagung yang diolesi dengan mentega, serta memanggang bebek dan ayam bakar yang sangat pedas, yang saat itu akulah satu-satunya yang ada di sana yang tidak memakan ayam dan bebek bakar tersebut.   Bahkan ketika aku melihat Mbah dua hari sebelum hari kematiannya, aku sempat mengajaknya untuk bakar-bakar bersama lagi dengan harap Mbah memiliki semangat juang untuk sembuh. Setiap Mama, dan Tante yang menjenguk Mbah dan mengajak hal yang sama seperti yang aku ucapkan, Mbah tidak memberikan respon. Hanya aku yang mendapatkan respon dari Mbah.

“Mbah, ayo sembuh. Kita bakar-bakar bareng lagi, ya. Mbah mau ndak.” Ucapku dengan lembut karena di dalam UGD, kami dilarang untuk berisik. Selain Mbah, ada 5 pasien juga yang ada di sana. Semuanya sedang berjuang untuk bangkit dari penyakit yang mereka derita. Seperti Mbah yang sudah berjuang tetapi dua hari kemudian ketika aku sedang di rumah menunggu Mama dan Papa pulang dari rumah sakit, aku mendapatkan telpon dari Mama bahwa aku harus ke rumah Mbah sesegera mungkin karena Mbah sudah tidak ada. 

Ketika kami mengadakan acara tahun bersama untuk terakhir kalinya, Mbah terlihat begitu menikmati momen itu. Mungkin Mbah juga tidak menyangka bahwa momen tersebut adalah momen terakhir Mbah dapat melihat cucu-cucu dan anak-anaknya berkumpul di rumahnya dan mengadakan acara tahun baru bersama-sama. Aku juga sama menikmatinya. Mendengarkan Mbah dan Mbah Uti (Nenek) bercerita adalah bagian yang paling aku sukai. 

Akhir-akhir ini setiap aku mendengarkan lagu Lemon yang dinyanyikan dan diciptakan oleh Kenshi Yonezu, aku selalu mengingat Mbah. Lemon juga sama sepertiku. Kenshi Yonezu menciptakan lagu Lemon untuk mengenang dan mengikhlaskan kakeknya yang juga sudah meninggal. Setiap lagu itu aku putar lewat Winamp, aku selalu mengingat waktu itu, waktu dimana Mbah selalu bertanya ke aku bagaimana kabar sekolahku, apakah ketika aku berangkat dan pulang sekolah, masih diantar Mama. Jawabanku selalu iya. Saat itu aku memang belum bisa mengendarai sepeda motor. 

“Ayo, ndang (segera) bisa sepeda motoran! Masa nanti pas kerja juga masih diantar Mama Papa?” tanya Mbah. Mbah selalu mendukungku untuk sesegera mungkin untuk memberanikan diri mengendarai sepeda motor. Sekarang aku sudah bisa dan berani mengendarai motor di jalan besar seorang diri tetapi Mbah sudah tidak ada. Sedih rasanya ingin membuktikan sesuatu kepada seseorang yang sudah tidak ada di sini. Mbah selalu percaya padaku. Mbah selalu memandangku sebagai harapan. Tetapi aku mengira hanya dia seorang yang percaya padaku bahwa aku bisa melakukannya.

Saat itu, kami sedang ke luar kota. Kami berenam menginap di salah satu Villa. Kami melakukan banyak aktivitas setibanya di sana. Lalu pada malam harinya, kami menghabiskan waktu kami untuk berjalan-jalan di alun-alun kota. Sepulangnya kami dari alun-alun, kami berkumpul di ruang tamu. Kami membahas banyak hal sampai satu ketika temanku ini mengatakan bahwa kita semua yang ada di sini nanti setelah menikah akan menjadi lebih “subur”. Si A dan B semakin gemuk, si C dan D mungkin secara fisik tidak mungkin bisa gemuk tapi perut mereka yang akan jadi buncit. Lalu yang terakhir disebut adalah aku.

“Aku yakin si Reza bisa kurus.” dia berkata demikian dengan rasa percaya diri dan juga dengan lantang di depan teman-teman yang ada di sana. Aku kira hanya Mbah yang percaya padaku. Aku kira setelah kepergian Mbah, tidak ada satupun yang mempercayaiku. Karena belum mendapatkan pekerjaan, banyak yang memandangku remeh dan rendah sehingga tidak mungkin ada yang percaya denganku. Aku tidak menyangka masihada yang memandangku dengan harap. Tapi, jujur, aku sangat senang mendengarnya. Aku senang bahwa aku tidak berjuang seorang diri. Aku juga sangat senang terhadap hal-hal yang kecil dan sederhana sehingga dorongan kecil seperti itu lah yang aku butuhkan untuk melesat lebih tinggi lagi.

Terima kasih.


Pohon Waktu dan Si Abu-Abu

 Ditulis oleh Reza Fernanda

Pintu hitamnya terbuka lalu keluarlah seorang pria dengan banyak lumuran darah di sekujur tubuhnya yang tengah menyeret pedangnya. Dia berjalan sangat tertatih-tatih. Dia menutup pintu hitam tersebut dan menguncinya. Lalu dia langsung terjatuh dengan bersandar di pintu tersebut. Nafasnya terengah-engah seperti telah bertarung selama berabad-abad. Kalian bisa melihat pria itu tengah beristirahat dan mengumpulkan tenaga di bawah sebuah lampu yang terletak tepat di atas pintu hitam itu.

-*-

Akhirnya aku bisa membunuh buku hitam dan si Abu-abu sialan itu. Batinku di tengah aku beristirahat. Aku baru sadar aku berada di sebuah balkon di dalam ruangan yang sangat besar dan serba hitam. Di tengahnya terdapat pohon raksasa. Mungkin sekitar 30 meter. Aku mengadah kepalaku, memandangi pohon ini dari atas hingga bawah. Di bagian tengah pohon tersebut ada pasir waktu yang tengah berjalan. Pasir di atas masih sangat banyak.

Besarnya. Batinku.

Kamu suka banget ngebatin, ya?. Terdengar suara bariton yang menggema. Aku tidak tahu darimana asalnya suara yang berat ini.

“Siapa?” Ucapku dengan nada sedikit tinggi.

Pohon yang tengah kamu lihat. Tiba-tiba pohon itu bergerak. Aku langsung berdiri. Aku memaksakan tubuhku yang daritadi merasakan sakit dan sulit digerakkan untuk bergerak. Aku langsung mengarahkan pedangku ke arahnya. Ketika pohon itu sedang berubah menjadi sesuatu, suara retakan mulai terdengar saling bersahutan. Pohon itu berubah bentuk menjadi setengah banteng, setengah manusia. Pasir waktu yang tadinya tertempel di pohon tadi ternyata menjadi kalung di leher Minotaur Pohon ini.

“Kenapa Minotaur sepertimu bisa berubah menjadi pohon?”. Tanyaku yang menggenggam pedang dengan kedua tanganku yang mengarahkannya ke arah Minotaur.

Aku adalah pohon waktu. Bukan aku yang bisa berubah menjadi seekor Minotaur, tapi kamu yang mengubahku. Aku adalah perwujudan dari fantasimu dan aku mohon..

Letakkan pedangmu, Anak Muda. Aku janji tidak akan menyakitimu…

“…Tapi akan membunuhku?” Ucapku yang masih mengarahkan pedang pada Minotaur. Dia diam sejenak lalu duduk secara perlahan. Setiap gerakannya selalu menciptakan beberapa suara retakan yang sangat kenccang sekali.

Mari kita bicarakan sesuatu.

“KAMU AJA BELUM JAWAB PERTANYAANKU!” Teriakku.

Pastinya.

“Kenapa tidak membunuhku sekarang?”

Untuk apa? Toh, suatu saat kamu akan meninggal…

..oleh waktu. Lanjutnya sambil menunjukkan jam pasirnya dengan bangga. Setelah mendengar ucapannya, aku menurunkan pedangku dan kembali bersandar di pintu tadi.

Ini adalah waktu hidupmu, Anak Muda. Masih ada banyak waktu untuk bertahan dan berjuang tapi tentu saja, jangan membuang waktumu untuk hal yang sia-sia.

Aku terdiam setelah mendengar penjelasannya yang panjang. Aku melihat pasir waktunya secara perlahan menjatuhkan satu per satu butir pasirnya. Dia tahu aku memperhatikan pasir waktunya lalu menatapku lagi.

Sekarang kamu tahu, kan siapa lawanmu? Lawanmu bukan lagi manusia, melainkan WAKTU. Kamu pikir waktu yang kamu rasakan sejak kecil hingga sekarang berjalan maju? Mungkin setelah lulus, kamu merasa pasir waktu ini telah dibalik dan sekarang waktunya seakan berjalan mundur. Pasir waktu ini dari dulu sudah berjalan mundur, sejak kamu lahirAku tahu yang kamu takutkan, Mama atau Papa akan meninggal, sedangkan kamu belum bisa membiayai dirimu sendiri.

Aku terdiam. Aku tidak bisa melawan apa yang dia katakan. Semuanya benar. Aku kembali duduk dan lemas.  Aku merenungkan semua yang dikatakannya.

Aku juga tahu kondisi pikiranmu seperti apa. Kamu pasti sedang melawan ideologimu dan logikamu, kan?. Dia menjulurkan tangannya lalu membuka telapak tangannya. Tiba-tiba muncul layar hologram yang menampilkan peperangan antar kelompok Ideologi dan kelompok Logika yang sepertinya tidak akan menang.

Benar, tidak ada satupun yang menang, kecuali ada yang harus mengalah. Lalu layar hologram tadi lenyap. Dia menurunkan tangannya kembali.

Memang benar, tidak ada satupun yang bisa menang oleh waktu. Semuanya pasti meninggal. Yang bisa kamu lakukan sekarang, bertahan atau maju dan berjuang.

Aku masih tidak bisa menjawab apa yang dikatakannya. Tiba-tiba balkon ini turun seperti lift. Dia mengarahkan tangannya ke arahku dan muncul serbuk hijau dari tangannya. Dalam waktu singkat, seluruh luka di tubuhku sembuh. Pagar balkon perlahan turun dan di ujung ruangan ada satu pintu yang terbuka. Aku mengadahkan wajahku menatap Minotaur.

Kita pasti akan bertemu lagi. Sekarang, pergilah. Sesuai intruksinya, aku berjalan menuju pintu itu dengan membawa pedangku. Aku berhenti di daun pintu dan menoleh sekali lagi ke arahnya.

“Sebenarnya, aku gak suka diceramahi. Terima kasih”

Sama-sama dan Selamat Ulang Tahun..

..,Reza.

Pohon Waktu : Setelah Pertemuan itu

 Setelah bertemu dengan Minotaur , aku sering memikirkan banyak hal, terutama tentang waktu. Semakin tua, aku semakin membenci suatu hal yang seharusnya membuatku bahagia. Ulang tahun, tahun baru, hari raya Idul Fitri, reuni sekolah seharusnya merupakan hal yang menyenangkan karena kita dapat bertemu banyak teman dan saudara, menjadi sesuatu yang aku benci saat ini.

“Eh, Kamu kerja dimana sekarang?”

“Kamu udah dapet kerja belom?”

“Selama beberapa tahun ini kamu ngapain aja?”

Merupakan pertanyaan-pertanyaan yang paling aku benci di setiap momen-momen yang sudah aku sebut di atas. Kehadirannya begitu memuakkan dan memekakkan telinga. Pada ulang tahunku yang terakhir, aku justru merasa itu sebuah checkpoint, seperti aku merasa dituntut untuk melakukan sesuatu. Di hari raya Idul Fitri dan tahun baru pun juga sama. Idul Fitri dan tahun baru serasa seperti ujian akhir semester dimana kita menunjukkan hasil dari apa yang kita kerjakan selama ini.

Minotaur memang benar, aku salah mengira waktu itu berjalan maju ternyata berjalan mundur dan deadline-nya ada di momen-momen itu untuk menunjukkan perkembanganku selama ini. Ada yang mulai serius melangkah ke jenjang pernikahan, ada yang mulai bekerja secara professional, ada yang sudah membangun usaha sedangkan aku masih di sini saja. Berjalan di tempat, mencoba memahami waktu dan aku sendiri.

Aku melangkah menuju cermin lalu aku duduk bersila di depan cermin itu.

“Halo, Za. Ayo bicara sebentar” Refleksiku di cermin mulai berbicara kepadaku.

“Yuk” Ucapku.

Memahami Tuhan dengan Memahami Diri Sendiri

 DISCLAIMER!!!

Di sini aku tidak ingin menggurui dan memberikan kalian sebuah nasehat bagaimana Tuhan itu bagi sebagian orang mungkin sulit untuk dipahami dan sebagian yang lain mudah. Aku juga bukan seorang yang religius, sholatku masih belum lengkap, dosaku juga masih banyak. Di sini aku akan membagikan pengalaman spiritualku sampai akhirnya aku mulai paham dari kata-kata “Jika kamu ingin mengenal Tuhanmu maka, mulailah kenali dirimu sendiri”. Aku tahu cara beribadah setiap orang pada setiap agama itu berbeda-beda dan cara mengenal Tuhan secara personal pun juga berbeda-beda dan itu tidak apa-apa. Aku sangat menghargai apapun yang kalian percayai.

 
1. Awal dari Semuanya
Awal aku bertemu dengan-Nya dan mengakui-Nya adalah saat aku SMP menuju SMA. Di saat SMP, aku masih hilang arah. Aku tidak tahu apa gunanya aku sholat.

“Untuk apa sholat?” 
pikirku saat itu dengan segala kedunguanku.

Lalu di satu waktu, pada waktu mengaji, Mas Ustadzku bilang ke aku bagaimana besarnya Tuhan jika dibandingkan dengan ciptaannya. Mas Ustadz bilang bahwa satu helai bulu dari satu sayap Jibril dapat menutupi bumi. Lalu beliau bilang tinggi singgasana Allah itu setinggi 7 langit. Yang Islam pasti tahu bahwa Al-Qur’an itu multitafsir, maksudnya bisa memiliki lebih dari satu makna. Kata langit apa yang Mas Ustadz bilang bisa saja sesederhana langit yang bisa kita lihat, langit juga bisa berarti galaksi, langit juga bisa berarti semesta, atau langit bisa merujuk pada langit yang hanya dimengerti Tuhan aja. Dari situ aku terus kepikiran, terus membandingkan, dan mencoba tahu Tuhan itu seberapa besar hingga diujung berpikirku, aku mulai kelelahan. Kepalaku terasa berat dan sangat pusing seperti mesin yang dipaksa untuk terus bekerja dengan keras.

Singkat cerita, malamnya aku tidur. Aku sangat ingat jelas mimpiku saat itu. Di depan gang rumah, terdapat bazar malam. Di sana ada banyak macam penjual. Dari penjual sosis bakar, odong-odong, hingga penjual alat elektronik yang ditaruh berjejer di atas karpet biru.  Aku ke sana dengan Mama, dan adekku. Adekku sangat antusias mengajakku untuk menemaninya menaiki odong-odong. Awalnya aku menolak karena tubuh gemuk dan berumur 16 tahun sepertiku ini masa iya kuat dan tidak punya malu untuk menaiki odong-odong?. Dengan terpaksa, aku mengiyakan dan akhirnya menemani adekku menaiki odong-odong. Di saat aku tengah asik menikmati odong-odong ini, di tiang listrik, terlihat seorang anak remaja, mungkin lebih dewasa dariku. Aku tidak bisa melihat wajahnya seperti apa, dia memakai jaket hoodie berwarna abu-abu. Tangannya menunjuk ke arahku. Meskipun aku tidak bisa melihat raut wajahnya, aku bisa merasakan ada aura kemarahan darinya.

“Kamu sudah meng-hack sistem Tuhan” katanya. Ucapannya tidak keras tapi sepertinya suaranya langsung masuk di kepalaku, seperti telepati. Mataku terbelalak mendengar hal itu. Lalu aku terbangun dan tidak percaya dengan apa yang aku lihat di mimpi.


Dari kejadian itu, untuk pertama kalinya aku mengakui dan mengucapkan kalimat “La ilaha illallah” artinya Tiada Tuhan selain Allah. Dari kejadian itu, aku mengakui bahwa Tuhan itu ada! Dari titik itu, aku mulai berkenalan dengan Psikologi dan sangat antusias dengan topik Analisa dan Tafsir Mimpi.


2. Kita ingin Direspon seperti apa?

Selain mencari kerja selepas lulus, aku membantu Mama berjualan. Dari berjualan, aku berjumpa dengan beraneka macam orang-orang haha. Dari baik sampai yang benar-benar kelihatan boroknya. Aku semakin membenci beberapa manusia di saat aku yang menjaga toko. Aku paling benci ya sama pembeli yang cuman beli barang tidak sampai sepuluh ribu rupiah tapi memberiku uang lima ribu rupiah atau paling parahnya seratus ribu rupiah apalagi kalau minta kembaliannya recehan atau puluhan dan lima ribuan. Tapi tidak semua pembeli begitu. Ada yang ramah, ada yang suka ngutang, ada yang perhitungan, uang kembaliannya kurang seratus rupiah aja dibuat masalah besar, ada.


Dalam menonton film bersama teman-teman pun banyak macamnya. Ada temenku, yang memang aku tahu, merupakan seorang yang sangat peduli dengan temannya tapi kepedulian yang dia miliki melampaui batas sampai dia tidak sadar memberikan suatu judgement tertentu yang mungkin akan menyakiti temannya, ada juga teman nonton film yang kalau diajak menonton ramai banget dan mengajak diskusi di tengah-tengah film hingga terasa mengganggu, ada juga temen yang mengajakku hanya untuk meramaikan suasana tapi aslinya dia tidak menginginkanku berada di sana.


Dari bermacam-macam interaksi yang telah aku lakukan dengan banyak orang, aku jadi sadar bahwa sebenarnya aku ingin direspon atau merespon seperti apa dan aku ingin diperlakukan dan memerlakukan seseorang itu seperti apa. Aku menyadari bahwa mengharapkan suatu respon seperti yang kita inginkan ke manusia hanya akan selalu membawa kepada sebuah kekecewaan. Ini juga didukung oleh ceramahnya Ustadz Hanan Attaki, mudahnya beliau bilang bahwa Manusia itu sumber kecewa jika berharap kepada mereka, sedangkan Allah SWT itu sumber kebahagiaan dan akan selalu menemukan jawabannya.


Dari banyak interaksi, aku bisa menyimpulkan bahwa ketika aku minta ke Tuhan, aku ingin jawaban langsung. Aku ingin sebuah jawaban nyata yang mungkin akan direpresentasikan oleh sebuah simbol-simbol atau tanda-tanda yang hanya aku dan Tuhan yang tahu dan aku berpikir bahwa Tuhan selalu betul tahu bagaimana cara merespon pertanyaan, doa, ataupun permintaanku tanpa membuat hamba sepertiku tidak kecewa. Lucu ya, Tuhan selalu ingin membuat hamba-Nya kecewa tapi aku selalu merasa telah mengecewakan-Nya.


3. Kejadian yang tidak terduga.

Beberapa dari kalian mungkin percaya sama yang namanya keajaiban, beberapa juga mungkin percaya bahwa keajaiban hanya berlaku di film dan cerita dongeng aja. Aku berada di sisi kelompok yang percaya bahwa keajaiban itu ada, walaupun aku tahu keajaiban itu datang dari sebuah kebetulan dan bisa dipikir secara logis.


Waktu itu aku habis sidang proposal skripsi, aku dapat nilai jelek waktu itu karena proposal skripsiku jelek banget, objek yang aku teliti waktu itu kurang cocok dengan teori yang aku terapkan. Lalu aku diberi pilihan, ganti teori atau ganti objek. Aku memutuskan untuk mengganti objek karena aku tidak ingin kehilangan dosen yang sudah menjadi targetku menjadi dosen pembimbing skripsi nanti. Aku langsung cari objek untuk skripsiku, akhirnya dalam waktu seminggu, aku menemukan objek yang baru, yaitu seri “Brooklyn Nine-Nine” yang hanya bisa diakses melalui Netflix.  Saat itu, aku tidak punya cukup uang untuk berlangganan. Tidak ada sepatah, dua kata dari mulutku terucap untuk berlangganan Netflix, tiba-tiba malam harinya, temanku ada yang menawari dan uji coba akun Netflix. Entah dia dapat darimana, dia minta aku untuk menjadi kelinci percobaan akun Netflix-nya. Saat itu, aku langsung mengerti bahwa aku sedang susah dalam finansial untuk berlangganan Netflix. Kalau dipikir logis ya, mungkin saja ini sebuah kebetulan dari temanku yang ingin mencari seseorang untuk diuji coba akun Netflix-nya dan terpikirlah aku karena mungkin menurutnya, aku merupakan salah satu temannya yang sangat menyukai film. Hebat ya? Tanpa aku meminta, Tuhan itu peka banget sama masalahku yang pada dasarnya sepele banget lho itu. Cuman minta akun Netflix doang. Sepele banget kalo dibandingkan sama Nabi yang dibelah lautnya oleh Tuhan.


Satu kejadian lagi yang aku alami akhir-akhir ini dan membawaku menyelam ke belakang industri film. Jadi, saat itu banyak sekali film-film Indonesia yang digadang-gadang menjadi tontonan yang bagus dan pernah juga masuk ke Festival Film bergengsi di luar negeri seperti Yuni dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Waktu itu, aku cuman ingin menonton Paranoia, lalu Akhirat a Love Story, Kadet 1947, Yuni, dan Seperti Dendam. Lha kok malamnya, Dhanang, temanku, menelponku dan menawari tiket gratis menonton film Paranoia. Siapa yang akan menolak tiket gratisan kan hahaha. Aku gas aja waktu itu. Dari situ, aku mulai berkenalan dengan dua komunitas film terbesar di Jawa Timur. Dari situ, aku mulai dapat tiket nonton film gratis seperti Kadet 1947, dan Akhirat a Love Story. Keinginanku untuk menonton film Indonesia ini bukan merupakan prioritas doa-ku. Aku tidak dapat menontonnya pun tidak masalah tapi lagi-lagi Tuhan mewujudkan keinginanku tanpa aku sebut. Bisa saja waktu itu, memang Dhanang lagi kebetulan kepikiran bahwa aku adalah salah satu temannya yang antusias dalam menonton film.


Jadi, inilah perjalananku mencoba mengenal lebih jauh tentang diriku sendiri yang barangkali akan membawaku dan mengenalkan lebih jauh tentang Tuhan sendiri. Dari cerita-cerita seperti ini, aku jadi semakin yakin bahwa Tuhan lebih sering berinteraksi dengan kita dengan cara yang kita inginkan dan tidak kita duga-duga, yang barangkali sering kita lewatkan begitu saja. Aku yakin buat semua orang yang masih percaya adanya Tuhan, mampu mengenal kapan Tuhan sedang berinteraksi dengan kalian melalui hadiah, jawaban doa, atau tanda-tanda lain yang hanya kalian dan Tuhan sendiri yang tahu.

Pohon Waktu : Akhir?

 Aku terbangun di ruang yang luas dan serba putih. Di depanku terdapat Pohon Waktu sialan ini lagi. Pasir waktu di tengah-tengah pohon itu terlihat masih berjalan. Aku pejamkan sekali mataku lalu kubuka kembali mataku, Pohon Waktu ini sudah berubah menjadi Minotaur.

 
 Sudah menemukan apa yang kamu cari? Aku mengangguk.
 
Jadi, apa yang sudah kamu temukan?.
 
 “Aku memang tidak bisa mengalahkanmu. Hidupku ada di kamu, kan? Jika memang itu waktuku, maka jemputlah aku.”
 
Kamu sudah bisa menerima itu, ya? Bagus lah. Aku sangat bangga sama kamu, Za. Lalu ketakutanmu bagaimana jika Papa dan Mamamu meninggal suatu saat nanti? Aku menunduk dan menguatkan kepalan tanganku. Dengan cepat aku memegang pedangku dan melompat ke arahnya. Ketika di udara, fokusku menuju ke kalung pasir waktu itu.

Kamado Tanjiro! Roronoa Zoro! Mebius! BEST MATCH! Sword Form.

“Teknik Pernafasan Air! Bentuk Pertama! ONI GIRI! (Tebasan Setan)” Dengan cepat aku menebas dua tali kalung. Kalung itu terlepas dan aku berhasil meraih pasir waktunya. Aku melompat ke belakang.


Percuma, kamu juga tidak bisa menggunakannya. Kamu tidak bisa membunuhku. Hanya aku yang bisa membunuhmu dan seluruh populasi di planet sampah tidak berharga ini! Dia tampak murka, dia membalikkan badan menghadapku.

“Siapa bilang aku akan membunuhmu? Teknik Copy-paste : Dr. Strange”. Pasir waktu yang aku pegang berubah menjadi The Eye of Agamoto.

“Tentang Mama Papa yang nantinya akan meninggalkanku? Itu takdir mereka dan aku bisa apa? Jika mereka meninggal, maka aku yang harus kuat. Tidak, aku yang harus lebih kuat dari mereka. Aku tau yang dilalui Mama dan Papa sewaktu mereka masih muda. Aku juga lebih kuat tahu!” Aku mengepalkan kedua tanganku, tangan kananku mengarahkan ke depan sedangkan tangan kiriku di belakang. Sebuah perisai mistik muncul di depan tanganku.

“Aku tau lawanku adalah WAKTU tapi aku tidak senang jika harus punya lawan. Aku tidak suka bermusuhan. Masalahku di dunia jauh lebih penting daripada mencari musuh, dan niatku, aku akan menjadikan WAKTU sebagai temanku” Tiba-tiba perisai mistik yang tadinya berwarna oranye berubah menjadi hijau dan tubuhku dikelilingi oleh sebuah hologram bercahaya berwarna hijau yang sering aku lihat di film Dr. Strange.

“Aku tidak peduli jika di umur 23 aku belum mendapatkan pekerjaan tetap! Aku tidak peduli jika teman-teman seumuranku sudah mendapatkan pekerjaan tetap! Aku tidak peduli jika di umur 25 aku belum menikah! Aku tidak peduli jika teman-teman seumuranku sudah menikah! Aku tidak peduli jika di umur berapapun aku belum mendapatkan sesuatu seperti orang yang seumuran punya! Aku tidak peduli jika harus mati!” Badanku terangkat dan sekarang aku sejajar dengan tatapan mata Minotaur ini.

“Lagipula, kamu akan menemaniku, kan? kamu akan selalu bangga terhadap apapun yang aku kerjakan, kan?”

Jika yang kamu lakukan adalah untukku, maka kamu gak perlu khawatir lagi akan kecewa dan aku janji kamu tidak akan merasa lelah karena berbuat sesuatu untukku dan aku janji akan menemanimu di saat sepi maupun tidak. Aku selalu ada di sini. Tangannya menyentuh dadaku.

Aku tidak jauh-jauh. Aku selalu ada. Sedekat kamu dengan hatimu dan simpan baik-baik Agamoto dan ingat, Za. Pelan-pelan. Jalan sesuai waktumu, jalan sesuai kecepatanmu. Aku sudah merencakan sesuatu yang terbaik buat kamu.

“Terima kasih”. Aku melihat ke tangan kananku.

“Infinity Gauntlet” Sarung tangan emas dengan 6 batu Infinity terpasang di tangan kananku.

“Sampai jumpa”

Sampai jumpa, Za. Lalu aku menjentikkan jariku.

Jangan Pelit sama Diri Sendiri

 Pas itu Mama, kedua adekku, dan aku sudah selesai menonton sebuah film di salah satu mall besar di area Surabaya Timur. Lalu, kami memutuskan untuk makan sejenak di sentra kuliner di sana. Setelah memesan beberapa makanan, aku melihat ke tagihan dan terkejut dengan angka total yang tertera di situ, lalu memberikannya ke Mama. Kami berbincang dengan sedikit besenda gurau. Di tengah perbincangan kami, aku tidak menduga bahwa Mama memberikan sebuah wejangan yang selama ini aku cari-cari. Teman-teman, aku bukanlah anak yang soleh kepada kedua orangtuaku, aku bukanlah anak yang selalu patuh sama orang tuaku, aku seperti anak-anak pada umumnya, yang kadangkala nakal, kadangkala tidak mau mendengarkan Papa dan Mama.

Hubunganku dengan Mama tidak seperti hubungan teman-teman sebayaku dengan ibu mereka. Kami tidak meromantisasi hubungan kami. Kami tidak pernah melakukan pelukan, ciuman, ataupun sesederhana pegangan tangan. Caraku dalam menunjukkan kasih sayangku itu sangat sederhana dan begitu pula keinginan Mama agar aku menunjukkan hal itu adalah dengan menuruti apa yang Mama suruh. Kadang kami saling menghina satu sama lain untuk saling menghibur. Tentu saja dalam setiap hinaan seperti itu, aku tidak akan pernah memandang Mama sebagai sosok yang rendahan. Bahkan, di setiap tulisanku, terutama perihal kematian, aku sama sekali tidak takut dengan kematianku sendiri. Aku sudah di fase pasrah sama Yang Di Atas. Kalau besok aku mati pun, aku akan ikhlas, selama kematianku ada di tangan Tuhan. Hanya satu hal yang mungkin akan sulit membuatku ikhlas adalah kematian Mama. Hal itu justru lebih menakutkan daripada apapun.

Mama tuh merupakan sosok yang sangat kuat. Wanita terkuat yang pernah aku lihat selama hidupku. Mama selama 23 tahun aku hidup selalu berhasil melindungi keluarga dari para penipu yang mencoba menghancurkan finansial kami dan aku selalu berharap bisa mendapatkan hal seperti itu, untuk melindungi keluargaku nanti. Meskipun, kami tidak meromantisasi hubungan kami, aku sangat beruntung terlahir dari Papa dan Mama.

Di tengah perbincangan itu, aku sempat menyenggol tentang harga makanan yang kami pesan.

“Kalau sama diri sendiri, jangan pelit, Za…” Ucapnya.

“…selama kamu masih bisa makan macem-macem, beli aja. Kalau kamu ingin sesuatu, beli aja. Hari ini mungkin kita seneng-seneng bisa makan yang enak-enak, besok kita cari uang lagi, besoknya cari makan yang enak-enak lagi. Jangan pelit sama diri sendiri”. Lanjutnya.

Ketika mendengarnya, aku sangat tertegun dan kagum. Dari semua omongan Mama yang kebanyakan aku tidak pernah peduli, ini merupakan pertama kali apa yang Mama bicarakan sangat relate dengan apa yang sedang aku alami. Saat itu aku sangat perhitungan dengan yang namanya uang karena saat itu aku sangat baru mendapatkan penghasilan dan butuh waktu untuk mengelola uangku bagaimana.

 

Sejak saat itu, aku lebih sering mendengarkan apa yang Mama ingin bicarakan ke aku, siapa tahu ada pelajaran yang bisa aku ambil darinya dan sekaraang aku tidak perhitungan lagi jika membeli barang di kebutuhan primer seperti sandang (baju, celana, dll), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal).

Garuda : Penciptaan

 Aku merupakan seorang yang imaginatif, teman-teman. Aku bisa berimajinasi seliar-liarnya sehingga aku dulu banyak membuat karakter-karakter fiktif. Dulu aku menganggapnya wajar setelah menonton Toy Story dimana Andy juga melakukan hal yang sama. Tetapi monster satu ini sepertinya sudah mendekam lebih lama dan akhirnya berhasil menjadi representasi dari EGO-ku.


Aku menciptakannya waktu SMP. Garuda. Makhluk setengah manusia setengah elang. Aku dulu membayangkannya sebelum menjadi Garuda, dia menjadi Griffin (Makhluk gabungan Elang, Kuda, dan Singa. Ada di salah satu film Harry Potter). Dulu aku membawa kabar ke teman-teman SMP bahwa aku memiliki khodam bernama Garuda. Agar apa? Agar terlihat keren. Agar aku bisa diperhatikan oleh teman-temanku di SMP. Sampai suatu waktu, aku terlalu gembira dengan imajinasiku sendiri sehingga aku tidak sadar bahwa dia menjadi hidup dan pernah terhasut oleh kekuatan besar miliknya.


Waktu itu, aku diberi amanat menjadi wakil ketua kelas bersama

temanku, Pandu. Karena aku merasa paling berkuasa dan kelas juga lagi ramai-ramai. Aku diam-diam mencatat nama mereka satu per satu yang ramai lalu aku kasih ke guru killer. Akhirnya, mereka yang disebut di kertas dihukum. Aku melakukan itu berulang kali hingga aku diminta Papa untuk bertemu di ruang guru mengenai keegoisanku. Semenjak itu, aku diceramahi oleh Papa hingga seminggu.


Aku menulis paragraf di atas sambil tutup mata hahaha. Mengingat betapa memalukannya dan sok sokannya diriku dulu.


“Hahahaha, Aku pun ingat kejadian itu!” Ucap makhluk besar yang terperangkap dalam penjara besi raksasa di belakangku.


“Kau ini bisa diam gak sih, Burung?!” Aku menghadapkan tubuhku menghadap langsung di depannya. 

Teknik Duplikat : Monkey D. Luffy!

Haoshoku Haki! (Conqueror Haki) mataku membelalak tajam ke arahnya. Sebuah gelombang kejut yang akan membuat pingsan siapa saja yang dilewatinya.


“Punya Luffy, ya? TIDAK MEMPAN! HAHAHAH” Dia tertatwa dengan sangat kencang ketika Conqueror Haki tidak mempan terhadapnya.


“Kau tau kenapa? Dia mendekatkan wajahnya ke jeruji besi, menghadap ke arahku.


“Karena AKU TERCIPTA UNTUK MEMBESAR DAN LEBIH KUAT HAHAHAHA! Karena aku, Egomu, Za! Egomu! I am your ego!”.


“Aku tau, aku tau.” Balasku.


Aku tau dia adalah representasi dari egoku. Egoku sendiri yang kadang kala dipandang jelek oleh beberapa orang. Seperti yang kualami beberapa bulan belakangan. Mama kan punya toko klontong serta menjadi agen air isi ulang. Namanya agen air isi ulang pasti kerjaannya mengangkat galon. Aku kuat mengangkat galon. Cuman satu hal yang membuatku peka terhadap egoku adalah ada satu pria, belum om-om, beli isi ulang di tokoku. Oke, aku mengisi ulangkan galonnya. Aku mengira ketika selesai aku isi ulang galon miliknya, dia bakal membantuku mengangkat galonnya. Ternyata dia malah duduk di motor miliknya, seakan dia menganggapku seperti “pembantu”. Di situ, aku merasa lebih peka terhadap egoku.


“ANGKAT SENDIRI SANA! ENAK AJA!” Teriakan Garuda menggaung di ruang pikiranku.


Sudah telat jika harus menghapuskan Garuda dari hidupku. Cepat atau lambat, aku harus menundukkannya. Karena beberapa hari belakangan aku merasa egoku mulai berteriak hingga melukai hati orang. Aku teringat dengan apa yang bang Hasan Askari bilang bahwa seorang yang hebat dan bisa melampaui dirinya sendiri adalah orang yang bisa mengalahkan egonya. Maka dari itu, aku ingin melampaui batasanku sendiri!


“Aku sudah lama mendiamkanmu di sini. Aku juga tidak munafik. Aku ya membutuhkanmu tapi tidak dalam kondisi dirimu yang seperti ini. Maka aku mohon, Garuda…”


“Tunduklah!”.


Bersambung….