Pas itu Mama, kedua adekku, dan aku sudah selesai menonton sebuah film di salah satu mall besar di area Surabaya Timur. Lalu, kami memutuskan untuk makan sejenak di sentra kuliner di sana. Setelah memesan beberapa makanan, aku melihat ke tagihan dan terkejut dengan angka total yang tertera di situ, lalu memberikannya ke Mama. Kami berbincang dengan sedikit besenda gurau. Di tengah perbincangan kami, aku tidak menduga bahwa Mama memberikan sebuah wejangan yang selama ini aku cari-cari. Teman-teman, aku bukanlah anak yang soleh kepada kedua orangtuaku, aku bukanlah anak yang selalu patuh sama orang tuaku, aku seperti anak-anak pada umumnya, yang kadangkala nakal, kadangkala tidak mau mendengarkan Papa dan Mama.
Hubunganku dengan Mama tidak seperti hubungan teman-teman sebayaku dengan ibu mereka. Kami tidak meromantisasi hubungan kami. Kami tidak pernah melakukan pelukan, ciuman, ataupun sesederhana pegangan tangan. Caraku dalam menunjukkan kasih sayangku itu sangat sederhana dan begitu pula keinginan Mama agar aku menunjukkan hal itu adalah dengan menuruti apa yang Mama suruh. Kadang kami saling menghina satu sama lain untuk saling menghibur. Tentu saja dalam setiap hinaan seperti itu, aku tidak akan pernah memandang Mama sebagai sosok yang rendahan. Bahkan, di setiap tulisanku, terutama perihal kematian, aku sama sekali tidak takut dengan kematianku sendiri. Aku sudah di fase pasrah sama Yang Di Atas. Kalau besok aku mati pun, aku akan ikhlas, selama kematianku ada di tangan Tuhan. Hanya satu hal yang mungkin akan sulit membuatku ikhlas adalah kematian Mama. Hal itu justru lebih menakutkan daripada apapun.
Mama tuh merupakan sosok yang sangat kuat. Wanita terkuat yang pernah aku lihat selama hidupku. Mama selama 23 tahun aku hidup selalu berhasil melindungi keluarga dari para penipu yang mencoba menghancurkan finansial kami dan aku selalu berharap bisa mendapatkan hal seperti itu, untuk melindungi keluargaku nanti. Meskipun, kami tidak meromantisasi hubungan kami, aku sangat beruntung terlahir dari Papa dan Mama.
Di tengah perbincangan itu, aku sempat menyenggol tentang harga makanan yang kami pesan.
“Kalau sama diri sendiri, jangan pelit, Za…” Ucapnya.
“…selama kamu masih bisa makan macem-macem, beli aja. Kalau kamu ingin sesuatu, beli aja. Hari ini mungkin kita seneng-seneng bisa makan yang enak-enak, besok kita cari uang lagi, besoknya cari makan yang enak-enak lagi. Jangan pelit sama diri sendiri”. Lanjutnya.
Ketika mendengarnya, aku sangat tertegun dan kagum. Dari semua omongan Mama yang kebanyakan aku tidak pernah peduli, ini merupakan pertama kali apa yang Mama bicarakan sangat relate dengan apa yang sedang aku alami. Saat itu aku sangat perhitungan dengan yang namanya uang karena saat itu aku sangat baru mendapatkan penghasilan dan butuh waktu untuk mengelola uangku bagaimana.
Sejak saat itu, aku lebih sering mendengarkan apa yang Mama ingin bicarakan ke aku, siapa tahu ada pelajaran yang bisa aku ambil darinya dan sekaraang aku tidak perhitungan lagi jika membeli barang di kebutuhan primer seperti sandang (baju, celana, dll), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar